Kita butuh informasi, tapi apakah informasi itu benar?
Pernahkah menanyakan kenapa kita, homo sapiens, menjadi makhluk paling berkuasa di bumi? Kenapa bukan gajah atau paus, yang memiliki volume otak lebih besar? Kenapa bukan simpanse atau orang utan yang masih satu famili dengan manusia?
Jawabannya adalah bahasa dan informasi. Manusia memiliki kemampuan untuk bertukar pikiran melalui bahasa. Dari gambar-gambar dan simbol, huruf alfabet, hingga intonasi suara dan gerak badan. Bahasa menjadi medium kita untuk menerima, menyampaikan, dan mengolah informasi.
Kalau dipikir-pikir, informasi (pengetahuan) yang kita dapatkan di sekolah maupun kuliah berdasar pada hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh manusia lain. Hasil penelitian mereka pun, berdasar pada hasil penelitian dari manusia lain. Artinya, informasi yang kita kelola bersifat kumulatif. Kita mengembangbiakkan informasi — ide, pikiran, pengetahuan, layaknya kita mengembangbiakkan hewan ternak atau tanaman. Ini dapat terjadi karena kita mempunyai kemampuan berbahasa.
Dari generasi ke generasi, manusia menurunkan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya, bagaimana cara mencari makanan, menghindari predator, membuat tempat tinggal, bercocok tanam, hingga membuat senjata. Akhirnya, manusia menjadi spesies yang paling berkuasa di bumi karena informasi yang dimilikinya membuat manusia menjadi ‘kuat’. Kelebihan kita sebagai spesies bukan di gigi taring, atau kemampuan lari yang cepat, tapi di informasi kolektif yang kita miliki.
Mungkin karena hukum alam, informasi bukan lagi menjadi cara manusia untuk unggul dibanding spesies lain dan menyejahterakan hidupnya saja, tapi untuk memiliki kuasa (power) dibanding manusia lainnya.
Informasi dan Misinformasi
Information asymmetry merupakan sebuah konsep dimana ketika melakukan transaksi, satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak lainnya. Sehingga dengan perbedaan informasi/pengetahuan ini, transaksi tersebut bisa lebih menguntungkan ke satu pihak.
Bayangkan misalkan seseorang awam mau membeli komputer baru. Ia tidak memiliki pengetahuan tentang komputer. Ketika ia datang ke toko, penjualnya (karena lebih berpengetahuan) bisa menipu si pembeli dengan memberikan harga yang lebih tinggi dan mengatakan ‘harganya memang segitu kok’. Kalau si pembeli melakukan due diligence-nya dengan mencari harga di internet atau keliling ke toko lain untuk membandingkan harga, tentu ia tidak akan (atau setidaknya lebih sulit) tertipu. Dengan mencari harga di internet, atau membandingkan harga di toko lain, ia mendapatkan informasi tambahan untuk menyeimbangkan information asymmetry yang sebelumnya ada.
Contoh lain, misalkan A dan B akan menempuh ujian. Ketika naskah asli soal ujian bocor, katakan A membaca dan mempelajari naskah soal itu sementara B tidak. Akhirnya, A memiliki informasi lebih dibandingkan B yang mungkin dapat membantunya mendapat nilai yang lebih tinggi.
Tapi misalkan sekarang ternyata naskah soal tersebut adalah naskah soal palsu yang sebenarnya disebarkan oleh B supaya A mendapatkan nilai buruk. A, karena hanya mempelajari soal dari naskah palsu tersebut akhirnya tidak bisa mengerjakan ujiannya. Sementara B yang belajar dengan sungguh-sungguh dan berhasil memanipulasi A, B bisa mengerjakan ujiannya dengan baik.
Kembali ke contoh membeli komputer, misalkan si penjual saling bekerja sama dengan toko-toko lain untuk menaikkan harga, sehingga kalaupun pembeli hanya membandingkan harga dengan toko lain, ia akan tetap tertipu oleh salah satu penjualnya. Misalkan lagi sekarang para penjual toko dengan canggih mampu memanfaatkan search engine optimisation yang ada di Google dan search engine lainnya sehingga apa yang mereka post ada di halaman pertama. Si pembeli yang mencari informasi di internet akhirnya tetap saja akan tertipu lagi.
Memanipulasi atau menyebarkan informasi yang tidak akurat atau salah disebut dengan misinformasi. Kalau penyebaran tersebut disertai dengan niat buruk, disebut dengan disinformasi. Kedua contoh tadi bisa disebut sebagai bentuk disinformasi.
Informasi sebagai Senjata
Praktik disinformasi dapat dikatakan sebagai senjata. Meminjam ide dari buku Mindf*ck, sebuah senjata memiliki 3 komponen: payload, targeting system, dan delivery system. Katakan misalnya pistol memiliki peluru sebagai payload dan kombinasi mekanisme pistol (per, ledakan, dan laras) sebagai delivery system. Disinformasi memiliki informasi palsu sebagai payload dan internet sebagai delivery system. Bedanya, kalau menggunakan pistol, target yang dikenai payload bisa terluka, kalau disinformasi, target yang dikenai payload bisa dimanipulasi.
Misalkan ada sebuah negara berkembang yang menolak vaksin karena ada informasi palsu “vaksin membuat bodoh” atau “vaksin terbuat dari bahan haram” tersebar luas. Penduduk yang percaya dengan informasi tersebut akhirnya tidak mau menggunakan vaksin, membahayakan dirinya dan orang lain. Contoh lain misalnya perdebatan mengenai climate change. Kirimkan informasi palsu ke orang-orang penyusun kebijakan dan petinggi perusahaan kalau “climate change is not real”.
Disinformasi dalam Media Sosial dan Internet
Media sosial seperti Facebook (buat yang belum tahu, Instagram dan WhatsApp milik Facebook), Youtube, dan Twitter adalah sumber informasi sehari-hari bagi kebanyakan orang. Sayangnya, media sosial belum mampu melawan misinformasi. Umumnya media sosial menggunakan algoritme yang mengoptimalkan engagement penggunanya. Misalkan, orang yang tidak suka konten Korea (Kpop, Kdrama, dll) kalau ditampilkan konten tersebut, akan memilih untuk berhenti atau mengurangi waktu membuka media sosial tersebut. Tapi untuk mereka yang suka konten Korea dan diberikan konten tersebut terus menerus, akan lebih lama membuka media sosialnya kan?
Memaksimalkan waktu membuka media sosial penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut, karena pendapatan mereka berasal dari advertising. Iya, iklan yang kalian lihat ketika scrolling feeds media sosial. Semakin lama kalian membuka media sosial, semakin banyak iklan yang kalian lihat, semakin banyak pemasukan perusahaan-perusahaan tersebut.
Sayangnya, dengan algoritme yang memaksimalkan engagement ini, informasi yang akan diterima pengguna dalam media sosial akan berputar pada informasi yang sependapat dengan perspektif penggunanya. Misalnya kalian pendukung Trump, kalian akan cenderung diberikan konten pro-Trump. Sementara yang menolak Trump akan diberikan konten kontra-Trump. Kalian yang peduli climate change akan diberikan konten pro-climate change. Kalian yang percaya flat earth akan terus diberikan konten flat earth. Artinya, kalau ada yang sudah termakan disinformasi, konten yang didapatkan akan informasi serupa (yang salah) terus menerus. Polarisasi opini akan menjadi semakin parah karena orang tidak mendapatkan pandangan dari sudut lain.
Ada saat dimana fitur algoritme Facebook cenderung menampilkan preferensi penggunanya yang ekstrim. Misalkan kalian mengikuti laman (page) Amazon atau Hypermart, news feed kalian tidak akan berubah drastis karena kedua brand tersebut bersifat cukup umum. Tapi misalkan kalian mengikuti sebuah laman radikal, konten news feed kalian akan memberikan prioritas lebih ke topik-topik radikal serupa.
Masalah misinformasi bukan hanya ada di media sosial. Meminjam adegan di film the social dilemma (menit 55:30), ketika kita mengetik “climate change is” Google akan menampilkan hasil yang berbeda tergantung dimana kita tinggal (dan dipengaruhi faktor-faktor lainnya juga). Ada hasil seperti “climate change is real”, tetapi ada juga “climate change is a hoax” dan “climate change is fake”.
The worst part about misinformation is, we probably won’t realize that our perception of the world is being shifted. ‘Reality’ is just a concept of what we believe in our mind, a model of the world, and we are living in a post-truth era. What we believe in matters more than what’s the truth.
Melawan Misinformasi
Melawan misinformasi butuh tindakan masif dari para pembuat kebijakan, akademisi, dan mereka yang membangun tech companies, seperti membuat regulasi terkait sosial media, krikulum pendidikan literasi digital, teknologi filtering, dan sebagainya. Tapi kita sebagai masyarakat awam dan pengguna internet juga perlu belajar untuk selalu berpikir kritis dalam menerima informasi di internet, terlebih lagi informasi yang ‘disajikan’ otomatis oleh media sosial yang kita gunakan.
Berpikir kritis yang dimaksud dimulai dengan jangan termakan emosi terlebih dulu ketika mendapatkan informasi yang baru. Baca dan tanyakan “apakah informasi ini benar?”. Setidaknya upayakan untuk mencari tahu lebih lanjut dan lihat pandangan dari perspektif yang berbeda.
Baru-baru ini misalnya di Indonesia ada aksi untuk menolak UU Cipta Kerja. Salah satu tweet yang cukup viral menunjukkan gambar halte yang rusak. Opini yang mungkin terbentuk ketika membaca tweet tersebut adalah halte tersebut dirusak oleh demonstran. Opini loh ya.
Kita yang hanya melihat berita melalui layar mungkin tidak akan pernah tahu apakah halte itu memang dirusak sebagai bentuk simbolik kekesalan rakyat terhadap pemerintah, atau usaha pemerintah menyetir narasi publik agar iba terhadap pemerintah dan kontra-demonstran, atau ada pihak ketiga yang berusaha membuat kekacauan di negeri ini. Who knows? How do we find the truth?
Epilogue
Batas dunia fisik dan dunia digital semakin kabur. Bukan hanya untuk mesin yang semakin canggih dan bisa melihat maupun mendengar dunia fisik, tapi manusia juga. Mungkin dulu kita bisa membedakan kehidupan kita di dunia fisik (atau biasa kita sebut in real life / irl) dengan dunia digital, tapi semakin kesini semakin sulit untuk membuat batasan itu. Kita menjadi semakin satu dengan apa yang kita lakukan dan dapat di dunia digital.
Perhaps ignorance is bliss. Will you take the red pill or the blue pill?
Do you believe in this story though?
Further Reading / References:
- Christopher Wylie. Mindf*ck: Cambridge Analytica and the Plot to Break America
- George Zarkadakis. In Our Own Image: Will Artificial Intelligence Save or Destroy Us?
- David Chrisitian. Origin Story: A Big History of Everything
- Yuval Noah Harari. 21 Lessons for the 21st Century
- Netflix. The Social Dilemma
- Netflix. The Great Hack
Disclaimer
Any views, opinions, and content provided on this story is intended for informational purposes only. I do not claim to be an expert. I deny any liability or loss incurred by any person who acts on the information, ideas, or strategies discussed in this story.